"Ibu guru pilih kasih terhadap murid."
Mereka mengangkat kembali keprihatinan dalam rapat bersama untuk menegur perilaku Septi. Mayoritas orang tua murid datang dengan satu tuntutan,
"Perhatian guru harus adil."
Hampir selama satu jam pertemuan Septi mendengarkan keluhan mereka. Ia mencatat pertanyaan penting dan setiap kali orang tua murid selesai bicara, Septi berucap,
"Terima kasih."
Beberapa orang tua murid yang lansia membagikan kearifan hidup kepadanya.
"Guru baik memperhatikan semua anak didiknya tanpa pilih-pilih."
Tersisa beberapa menit bagi Septi untuk menyampaikan hak jawab.
"Setelah mengajar saya menjadi relawati untuk rumah sakit hewan peliharaan. Setiap kali datang, dua belas anjing kecil duduk tenang di sekitar kaki. Saya mengambil seekor anjing dan meletakkannya di pangkuan. Satu kakinya patah. Anjing-anjing lain berlompatan semua ke pelukan. Saya mengelus kepala semua anjing."
Paras seorang murid yang tertatih-tatih menuju kelas terlukis dimatanya.
"Bukankah perhatian pada murid berkebutuhan khusus merupakan tindakan kasih sekolah?"
Betapa berbahagianya jika anak berkebutuhan khusus mendapat kasih dari guru pilihan, yang memberikan kesempatan bagi mereka yang terkadang tak sempat merasakan kasih akibat cibiran sekitar dan perjuangan berat untuk menjadi anak "normal". Kenapa kita gagal mensyukuri untuk menjadi bagian yang tak perlu kasih dan kesempatan berlebih?
sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar