Selasa, 08 Mei 2012

"No. 5"

Sebuah paras elok melintas dalam benak. Kertas karton yang membingkai fotonya penuh dengan kesan teman - teman tentang dirinya.

"Barangkali ia memiliki satu atau dua sifat negatif," ujajr saya dalam hati. Saya membacanya hingga tiga kali. "Nol". Saya mengorek ingatan tentangnya selama retret yang barangkali menyikap sesuatu yang masih tersembunyi dalam dirinya.

Ia selalu paling dulu berdoa di kapel dan keluar paling belakang. Tanpa diminta tangannya cekatan membantu saya membersihkan kapel.

"Ah, ia selalu mengenakan warna ungu."

Saya melihat daftar murid yang meminta waktu untuk berjumpa secara pribadi. "No. 1 Paramitha."

Sebuah ketukan lembut diikuti paras elok menyembul dari balik pintu.

"Orang tua kecewa karena saya hanya ranking 5 disekolah," ujarnya membuka pembicaraan.

"Dari berapa banyak siswa?"

"500."

"Prestasi yang sangat bagus bukan?"

"Mereka menginginkan nomor 1. Saya telah mengerahkan segenap kemampuan."

Saya terdiam lama sebelum akhirnya berbicara.

"Apakah yang terbaik buat Paramitha selalu harus no. 1?"

Belahan rambut menutupi paras Paramitha yang tertunduk. Isakan lembut terdengar.

"Seandainya orang tuaku sepertimu."

Ironisnya, biasanya orang tua yang seperti ini dulunya juga bukan no. 1. Kalau orang tua dulunya no. 1 biasanya mereka lebih tidak haus ambisi lewat anaknya dan lebih bijak untuk mengetahui yang terbaik bagi anaknya.

sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar