Anne dan Robert saling menghindari perjumpaan mata. Lebih dari satu jam keduanya menahan gemuruh perasaan.
"Tempat ini seperti neraka," ujar Anne dengan gigi bergemeretak.
"Aku mestinya berada di meja resepsi lain," kata Robert sambil mengipasi wajahnya yang bermandi keringat.
Robert mengangkat kaki sebelum resepsi usai.
"Pencari muka akhirnya pergi juga," ujar Anne sambil menarik nafas lega.
"Papa lihat sendiri kan? Saya sudah mencoba segala cara. Kesabaran mama sudah melampaui batas normal," kata Anne sesampainya di rumah.
"Masak kita yang benar harus mengiba kepada pembuat kesalahan? Yang benar saja," ujar Anne dengan nada tinggi sambil membersihkan kosmetik wajah didepan cermin.
Seto memberi tanda kepada istrinya untuk menurunkan nada tinggi suaranya. Hari telah melewati tengah malam.
"Wajah mama capai sekali belakangan ini," ujar Seto sambil duduk disisi istrinya.
"Begitu?" tanya Anne sambil mendekatkan wajahnya ke cermin besar.
"Kemarahan terpendam menempel pada wajah mama. Pengampunan itu seperti cermin. Tanpa pengampunan mama sulit melihat kasih."
Berbuat kesalahan ibarat memaku di dinding yang tetap membekas walau paku telah tercabut. Kesulitan mengampuni ibarat kesulitan mengembalikan keutuhan dinding yang pernah dirobek tajamnya paku.
sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar