Dokter Ima mengayuh sepeda dengan separuh tenaga kakinya. Ia ingin menunda kehadiran di ruang praktek.
"Aku gagal."
Sebuah paras jelita terlukis lama di pelupuk matanya. Ima mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka air matanya.
"Maafkan saya, Leni."
Kayuhan sepeda terasa semakin berat. Ima menepikan jalan sepedanya, lalu menuntun sepedanya.
"Aku gagal menyelamatkan kehidupanmu."
Sebuah paras jelita berbaring lemah di unit pelayanan intensif.
"Hari - hariku tinggal menjemput kematian," kata Leni lirih.
Ima memegang tangan Leni dengan mata berkaca - kaca.
"Saya telah mengerahkan kemampuan terbaik sebagai dokter."
"Dokter, aku menulis surat untumu," ujar Leni sambil mengulurkan amplop berwarna hijau.
Ima membelokkan arah sepedanya ke taman kota. Pagi masih lengang seperti hatinya.
Ima berhati - hati mengeluarkan surat dari Leni. Bayangan mata Leni yang pelan - pelan mengatup selamanya terlukis jelas.
"Aku akan berkisah kepada Tuhan. Kasihmu padaku sebesar kemotrapi untuk kesehatan badanku. Aku pergi ke surga membawa 1000 hati yang setiap hari kau bawa dalam hidupku."
Perhatian kita lebih sering terpusat kepada rasa sakit dan pedih daripada perhatian dan kasih dari sesama.
sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar