"Apakah bus akan melewati jalan Alcatraz?" tanya seorang perempuan lansia yang berjalan terbungkuk-bungkuk memasuki bus.
"Benar sekali," sahut seorang laki-laki mida berkacamata gelap yang duduk di kursi difabel.
Ia lalu menyebutkan jalan-jalan yang akan dilalui bus secara berurutan.
Bus berhenti tepat diantara tempat tunggu.
Laki-laki muda itu turun dari bus dengan langkah hati-hati. Saat mengeluarkan tongkat penunjuk jalan, penumpang lain baru mengetahui kebutaannya. Mata penumpang mengikuti gerak langkahnya.
Ia persis berdiri ditengah-tengah tempat tunggu bus. Ia sejenak kehilangan arah jalan karena tongkat penunjuk jalannya terhalang kaca tempat tunggu bus.
"Kamu mundur sedikit ke belakang lalu belok kiri," demikian bahasa mata penumpang bus.
Nafas lega memnuhi bus saat penumpang melihat laki-laki itu berhasil menyibak jalan keluar dari tempat tunggu bus. Tongkat penunjuk jalannya menyibak jalan untuk langkah kakinya.
"Aku sulit membayangkan diriku seandainya hidup sebagai seorang buta," ujar mahasiswi berparas elok sambil memilin-milin rambutnya.
"Kelemahan pada mata jangan sampai membutakan seluruh hidup. Seberapa rela tangan kita terulur sebagai penunjuk jalan?" ujar seorang anak muda yang timpang jalannya.
Lebih sering tangan kita menunjuk, bukan terulur untuk menunjukkan jalan.
sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar