Michael memperlambat langkanya saat mendekati restoran mewah di jantung kota San Fransisco. Dua perempuan jelita berdiri di depan pintu untuk menyambut pengunjung.
Mata Michael melongok sebentar ke dalam restoran.
Seorang laki-laki duduk seperti patung dengan pandangan tertuju ke dalam restoran.
Beberapa pejalan kaki melemparkan uang recehan kepadanya, namun ia membiarkan uang berceceran di sekitar tubuhnya.
Tubuh kurusnya beringsut ke dalam selimut tebal. Ia hanya menyisakan separuh wajahnya terbuka.
Michael menghitung uang dalam dompetnya. Ia teringat perkataan teman yang pernah santap malam di restoran itu.
"Engkau sekurang-kurangnya harus menyediakan sehari gajimu."
Ia menata abjad untuk memulai pembicaraan dengan pribadi asing di depannya.
"Siapakah nama Saudara?"
Michael membungkukkan badan untuk meraih tangan teman barunya.
Dua tangan dari balik selimut menyambutnya. Air mata hangat berjatuhan seperti daun di musim gugur.
"Mereka yang melintasiku melemparkan uang, namun hatinya tawar terhadapku. Aku merindukan tangan hangat mereka. Uluran tangan Saudara menghangatkan hidupku," ujarnya terharu.
Kita sering memberi uang receh kepada pengemis, pengamen jalanan karena otomatis saja, tidak lagi bertanya tentang makna perbuatan kita, kehadiran orang itu bahkan mempersoalkan perlukah dia hidup dengan cara itu.
sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar