Sabtu, 30 Juni 2012

"OPA OMA (OPAkailah cinta, OMAtikanlah dosa)"

Sabtu, 11 November 2006. Cuaca cerah. Pagi-pagi sekali, kami mengunjungi oma yang kini tinggal di keluarganya. Rumah yang kami datangi tidak terlalu besar, sederhana walaupun kelihatan bersih dan apik. Sama seperti bangunan di perumahan sederhana lainnya. Ketika kami bertemu, oma nampak sedang menyuapi seorang bocah perempuan yang dengan lincah berlarian mengelilingi rumah. Oma nampak sabar walau terkadang suaranya terdengar keras memanggil bocah perempuan itu. Tangannya yang tua, kelihatan gemetar saat memegangi piring tetapi oma tetap tersenyum. Kami menyapa dirinya, tetapi oma nampak tenggelam dalam upayanya untuk menenangkan anak bandel itu. Ah, anak-anak, jika tidak bandel tentu bukan anak-anak, bukan? Nampaknya oma tidak lagi mengenali kami. Dia telah tenggelam dalam hidupnya sendiri. Bersama bocah kecil itu, dia telah menemukan ruang untuk kembali hidup sebagai manusia. Bahwa ternyata ia tetap berguna, walau mungkin untuk hal-hal sederhana. 

Tetapi sederhanakah menyuapi seorang anak? Tentu tidak. Pasti tidak. Kami merasa terkesan. Sudah bergunakah kami bagi kehidupan ini? Sudah bergunakah juga anda bagi kehidupan anda? Sudah bergunakah kita semua sama seperti oma? Sudahkah kita juga belajar "OPAkailah cinta" dan "OMAtikanlah dosa?"

sumber : Jost Kokoh, Pr. XXX Family Way. Yogyakarta : Kanisius 2010

Jumat, 29 Juni 2012

"Matematika Pendidikan"

Mata penghuni kelas tertuju pada tangan Donna yang memegang kapur tulis. Tangannya terdiam lama di sisi bilangan matematika.

Donna melihat gurunya dengan pandangan berisi pesan.

"Saya kesulitan menjawabnya."

"Donna tahu jalan menyelesaikan persoalan perkalian?"

Bintik-bintik keringat membasahi paras elok Donna.

"Aku lemah sekali pada mata pelajaran matematika. Nilai raporku sering ternoda angka merah di bidang ini," keluh Donna sekembalinya ibu mengambil rapor kenaikan kelas.

"Ada yang menawarkan diri membantu Donna?"

Para murid saling menengok dan berbisik satu sama lain. Kapur patah karena tekanan tangan Donna yang bergemetar.

Donna selalu berkeringat dingin setiap kali ibu Mery, guru pendidikan matematika, memasuki kelasnya.

Ibu Mery menuntun tangan Donna hingga Donna menemukan jalan menyelesaikan soal.

"Nilai jawaban Donna 100," ujar ibu Mery yang diikuti tepukan tangan murid satu kelas.

"Bolehkah Donna tahu alasan ibu? Mengapa ibu membiarkan aku berdiri lama di depan kelas padahal aku jelas-jelas tak mampu menyelesaikan soal matematika?"

"Pendidikan matematika menawarkan penyelesaian soal langkah demi langkah, apalagi jalan pintas menyodorkan jawaban melawan matematika pendidikan."

Selalu ada penghargaan untuk sebuah usaha dan kita memerlukannya dalam kehidupan.

sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009

Senin, 25 Juni 2012

"Uluran Tangan"

Michael memperlambat langkanya saat mendekati restoran mewah di jantung kota San Fransisco. Dua perempuan jelita berdiri di depan pintu untuk menyambut pengunjung.

Mata Michael melongok sebentar ke dalam restoran.

Seorang laki-laki duduk seperti patung dengan pandangan tertuju ke dalam restoran.

Beberapa pejalan kaki melemparkan uang recehan kepadanya, namun ia membiarkan uang berceceran di sekitar tubuhnya.

Tubuh kurusnya beringsut ke dalam selimut tebal. Ia hanya menyisakan separuh wajahnya terbuka.

Michael menghitung uang dalam dompetnya. Ia teringat perkataan teman yang pernah santap malam di restoran itu.

"Engkau sekurang-kurangnya harus menyediakan sehari gajimu."

Ia menata abjad untuk memulai pembicaraan dengan pribadi asing di depannya.

"Siapakah nama Saudara?"

Michael membungkukkan badan untuk meraih tangan teman barunya.

Dua tangan dari balik selimut menyambutnya. Air mata hangat berjatuhan seperti daun di musim gugur.

"Mereka yang melintasiku melemparkan uang, namun hatinya tawar terhadapku. Aku merindukan tangan hangat mereka. Uluran tangan Saudara menghangatkan hidupku," ujarnya terharu.

Kita sering memberi uang receh kepada pengemis, pengamen jalanan karena otomatis saja, tidak lagi bertanya tentang makna perbuatan kita, kehadiran orang itu bahkan mempersoalkan perlukah dia hidup dengan cara itu.

sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009

Sabtu, 23 Juni 2012

"Masuk Keheningan"

Kita sering kali merasa perlu masuk dalam keheningan
karena Tuhan hanya mempersilakan kita menjumpaiNya disana
Tuhan seringnkali perlu menunggu kita masuk dalam keheningan
karena hanya disana kita mempersilakan Tuhan menjumpai kita

Dan sering sekali terjadi adalah.....
Kita memasuki keheningan itu dengan terburu-buru
tanpa memikirkan hubungan pribadi dengan Tuhan.

sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009

Jumat, 22 Juni 2012

"Bergantunglah pada Tuhan"

Ada sebuah kisah tentang pelindung kota Milano, Santo Agustinus yang mengajak kita belajar bergantung pada Tuhan. Begini cerita populernya :

Ketika Agustinus sedang berjalan-jalan di pantai dan mencoba mimikirkan Allah Tritunggal yang tak bisa dimengerti ini, ia melihat anak kecil yang bermain air di pantai.

Agustinus mendekati anak itu dan bertanya, 

"Sedang apa kau disini?"

Anak itu menjawab, "Saya ingin memasukkan seluruh air lautan ini kedalam botol."

Agustinus tertawa mendengar jawaban anak itu, katanya,

"Bodoh benar kau ini, mana mungkin seluruh air lautan ini bisa kau masukkan kedalam botol."

Anak itu menjawab balik, "Sama seperti kau juga, mana mungkin Allah dalam otak manusia yang juga sebesar botol ini."

Setelah berkata, anak itu langsung menghilang. Agustinus terkejut dan sekaligus sadar akan kebodohannya. Betapa benar kata-kata anak dalam penglihatannya itu. Ia ibarat anak kecil yang ingin memasukkan seluruh air lautan ini kedalam botol.

Disinilah kita disadarkan bahwa panggilan hidup kita adalah bertumbuh, berkenbang, berkomitmen pada sesama. Tapi, kerap pada praksisnya ada saat dimana perselisihan dan kemarahan menjadi begitu parah, disinilah kerap doa (sebagai sebuah relasi kita untuk belajar bergantung pada Tuhan) bisa mengubah segalanya.

sumber : Jost Kokoh, Pr. XXX Family Way. Yogyakarta : Kanisius 2010

Kamis, 21 Juni 2012

"John_Paul_II@vatican.va"

Johannes Paulus II memasuki ruang doa didekat kamar pribadinya. Kakinya berlutut pada alas kayu.

"Mengikuti dari dekat kehidupannya, saya berjumpa dengan Paus sebagai pendoa," tutur seorang rohaniawan jurnalis.

"Doa mulai dengan Tuhan," kata Paus membagikan pengalamannya.

"Ia masuk jauh dalam hati doa," ujar pribadi-pribadi yang melihat dari dekat Paus saat berdoa.

"Doa membantu saya menemukan kembali para kasih Tuhan. Ia memampukan saya melihat perkara  di dunia dari mata Allah. Hidup kita jangan pernah berhenti dari doa," tutur Paus.

Tangan Paus membuka kotak di meja berlututnya.

"Kotak berisi permohonan. Sebagian diterimanya saat audiensi dan sebagian melalui kiriman pesan. Ia berdoa untuk pribadi-pribadi di lokasi-lokasi konflik perang, kelaparan dan krisis kemanusiaan lain," ujar pewawancaranya.

"Dalam doa Allah mendengar. Ia menanggapi. Ia terlibat dalam sejarah. Ia menyelenggarakan kebutuhan hidup kita," lanjut Paus.

Paus membagikan renungan kehidupan dengan fasilitas pesan teks telepon genggamnya.

"Engkau berharga di mataku. Saya mengundang engkau untuk menghubungi saya di akun email : john_paul_II@vatican.va.

Orang-orang beriman yang tak pernah berhenti memanjatkan doa, bagai pohon-pohon rindang di tepi sungai berair jernih karena pohon-pohon tersebut senantiasa tumbuh subur oleh aliran air sungai yang tek henti-hentinya mengalirkan kesegaran.

sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009

Senin, 18 Juni 2012

"Tangan Pembalasan"

"Engkau lihat dia?" tunjuk Francoise kepada seorang jurnalis yang meliput kekerasan di Rwanda.

Seorang laki-laki berperawakan kecil berjalan terbungkuk-bungkuk dengan tas besar dipundaknya. Ia satu diantara pengungsi yang melewati perbatasan masuk Rwanda.

"Aku yakin sekali ia pembunuh tetanggaku," ujar Francoise sambil memicingkan penglihatannya.

Francoise kehilangan delapan anggota keluarganya akibat pembantaian milisi Hutu di Gisenyi. Ia selamat karena pada saat berkunjung ke rumah tetangga.

"Apa yang akan engkau perbuat jika menemukan pembantai keluargamu?" tanya jurnalis.

Francoise mengingat paras mereka yang membantai keluarganya.

"Sejauh ini aku belum menemukan mereka diantara para pengungsi yang kembali," jawabnya sambil melemparkan pandangannya ke arah kerumunan.

"Apa yang akan engkau perbuat jika engkau menemukan mereka?" desak jurnalis.

Francoise ambil nafas panjang. Campuran emosi melukis parasnya. Ia menggali jawaban dari kedalaman hatinya.

"Seluruh keluargaku akan tetap berbaring di kubur jika tanganku melampiaskan pembalasan terhadap pembantai keluargaku. Jawabannya terletak pada keadilan dari Tuhan.

Kekerasan membiakkan kekerasan yang lain. Sebaliknya, kasih terhadap mereka yang memusuhi kita melahirkan pengampunan.

sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009

Sabtu, 16 Juni 2012

"PRIA" (PRajurit Idaman Allah)

Sebuah renung-menung singkat seorang Jacqueline M. Griffiths, yang ditulisnya seperti ini :

Kekuatan pria tidak tercermin pada lebar bahunya,
tapi dalam lebar lengan yang merangkul keluarganya.

Kekuatan seorang pria tidak dalam nada keras suaranya,
tapi dalam kata-kata yang lembut diucapkannya.

Kekuatan pria bukan dari berapa banyak teman-temannya,
tapi bagaimana cara baik ia memperlakukan istri, anak-anak dan keluarganya.

Kekuatan seorang pria bukan bagaimana ia dihormati ditempat kerja,
tapi dalam bagaimana ia dihormati dirumahnya.

Kekuatan seorang pria tidak diukur dari kerasnya tidaknya pukulpannya,
tapi ada dalam sentuhan lembutnya.

Kekuatan seorang pria bukan pada bidang dadanya,
tapi ada dalam hatinya, yang terletak di dalam dadanya.

Kekuatan seorang pria bukan dari berapa banyak wanita yang ia cintai,
tapi tapi dalam kesetiaannya kepada seorang wanita.

Kekuatan seorang pria bukan dari seberapa kuat ia bisa mengangkat,
tapi seberapa dalam beban yang ditanggungnya.

sumber : Jost Kokoh, Pr. XXX Family Way. Yogyakarta : Kanisius 2010

Rabu, 13 Juni 2012

"ZAITUN" (ZAkatkan Indahnya TUNtunan)

Suatu hari Sang Khalik memanggil air dan bersabda, "Hai air, cipataanku, maukah kau berbuat sesuatu yang sulit tapi amat bermanfaat bagiKu?"

"Silahkan, Tuhan." sahut air.

"Begini", kata Tuhan, "Lihatlah di seberang gurun disana ada tanah yang amat memerlukan air. Pergilah kesana dan buatlah tanah itu subur."

"Maaf Tuhan untuk pergi kesana aku harus melewati gunung, karang, jurang dan gurun. Apa aku bisa?"

Tuhan tidak menyahut. Air segera bergegas mengumpulkan teman-teman airnya, lalu menuju tanah itu. Pada waktu mereka berhadapan dengan gunung, mereka bilang itu mustahil. Tetapi akhirnya mereka mengalah dan mencari jalan lain yang panjang dan berliku, karena mereka tahu tak ada jalan pintas. Kemudian mereka berhadapan dengan karang. Mereka menangis mengakui ketakmampuan mereka. Tetapi dengan kesabaran luar biasa, tetes demi tetes, mereka melalui rintangan karang.

Lalu cobaan ternyata tak berhenti. Mereka berhadapan dengan jurang. Mereka ketakutan setengah mati, karena harus terjun ke jurang yang dalam. Dan akhirnya mereka nekad terjun.

Kini mereka berhadapan dengan gurun yang kerontang dan panas. Mereka mengalir ke gurun dan setiap kali mengering air habis di telan gurun. Sekali lagi mereka menangis, mengeluh kesakitan dan benar-benar hampir putus asa. Waktu itu, matahari menawarkan bantuan, 

"Aku", kata matahari, " Bisa membantu tetapi amat menyakitkan. Aku bisa mengubah kalian menjadi uap lalu naik ke atas, lalu dihembuskan angin ke seberang. Disana kalian akan diubah menjadi air lagi."

Air setuju kendati mereka tahu mereka akan kehilangan jati diri. Uap dihembus angin ke atas tanah dan kemudian berubah menjadi air. Tanah itu kemudian menjadi amat subur.

Memotivasi diri sendiri. Memberi teladan pada anggota keluarga. Keberhasilan bukan hasil dari nyala spontan. Anda harus membakar diri.

sumber : Jost Kokoh, Pr. XXX Family Way. Yogyakarta ; Kanisius 2010

Minggu, 10 Juni 2012

"Usia 80"

Indra terpaku hening di depan jenazah ibu sahabatnya. Sebulan lalu ia berkunjung ke rumahnya. Ratu berbaring lemah sambil memegang erat rosario. Bibirnya bergetar saat tangannya berpindah dari satu butir ke butir rosario.

"Rosario sering terhenti di tengah jalan karena kelemahan fisikku. Maukah engkau berdoa rosario untukku?"

Mata ratu yang setengah terbuka membasah saat Indra menganggukkan kepalanya.

Seto, suaminya, berkisah dengan terbata-bata sambil memandangi istrinya.

"Saya berharap Tuhan mempersilakan ratu merayakan usia 80."

Emmy terbaring sangat lemah di tempat tidurnya. Ia segar sekali saat merayakan ulang tahunnya. Ia perlu bantuan peralatan medis untuk makan dan minum. Ia kesesakan bernafas. Nafasnya seolah bersahut-sahutan dengan deru mesin medis yang menyangga kehidupannya.

"Ratu sungguh teman hidup setia dalam suka dan duka," ujar Seto yang berdiri di samping Indra.

Terdengar alunan lembut I Will Rise

And I will rise when He calls my name
No more sorrow, no more pain
I will rise on eagle's wings.
Before my God fall on my knees

And rise, I will rise

"Tuhan menambahkan beberapa hari pada usia kehidupan ratu."

Beberapa hari atau beberapa tahun menjadi sama berharga ketika kita mempunyai teman hidup dalam suka dan terutama dalam duka.

sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009

Jumat, 08 Juni 2012

"Saat Doa"

Saya awalnya

hanya menggunakan waktu sisa

kemudian

menyisihkan waktu

sampai akhirnya

hidup di hadirat Allah sepanjang hidup

Seorang suci menjalani

kehidupan sehari-hari

dengan sesama

sebagai doa kepada Tuhan

Dalam doa kita bersujud

dihadirat Allah dan Allah

bersemayam dalam sisi

terdalam hati kita


sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009

Rabu, 06 Juni 2012

"Prioritas"

Seorang konglomerat berlibur ke pantai. Karena bosan berjalan - jalan, dia mendekati seorang nelayan yang tampak sangat menikmati hidup. Nelayan itu tidur - tiduran dibawah pohon dengan mata setengah terpejam. "Pak, boleh mengobrol sebentar?" tanya konglomerat itu.

"Ada perlu apa?" balas nelayan itu dengan nada mengantuk.

"Apakah Bapak tidak bekerja?"

"Sudah semalam."

"Seandainya Bapak bisa bekerja lebih keras, Bapak bisa mengumpulkan uang lebih banyak lagi," jelas konglomerat itu.

"Untuk apa?" tanya nelayan itu.

"Bapak bisa membeli perahu sendiri dan tidak usah menyewa perahu orang lain."

"Lalu?"

"Bapak bisa memperoleh uang lebih banyak lagi dan membeli perahu lagi."

"Lalu?"

"Bapak bisa menyewakan perahu Bapak kepada nelayan lain."

"Lalu?"

"Bapak bisa bersantai dan menikmati hidup," jawab konglomerat itu.

"Lha menurut Bapak, saya saat ini sedang apa?" tanya nelayan itu.

Didalam hidup kita memang perlu membuat skala prioritas. Pandangan konglomerat dan nelayan yang tamapknya bertentangan itu sebenarnya sama - sama benar. Mereka justru saling melengkapi. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi, kita memang harus menaklukkan bumi beserta isinya. Namun disisi lain pandangan nelayan itu juga benar. Kita harus bekerja tetapi tubuh manusia itu memerlukan istirahat.


sumber : Xavier Quentin Pranata. Kisah Inspirational Plus. Yogyakarta : Moriel Publishing House 2010

Selasa, 05 Juni 2012

"MAMA"

Mama adalah akar kehidupan. Ia adalah jantung cinta abadi. Ia tak mengharapkan balas jasa kecuali senyum, kenangan indah dan sedikit perhatian serta doa kita.

Sebab itu amatlah pantas memberi hadiah kepadanya, terlebih ketika kita juga mengingat pada sebuah lagu ini,

"Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia."

Hadiah yang terbaik sebenarnya tidak lebih daripada mengingat dan mengenang jasa-jasanya, antara lain :

Ia melahirkan kita dengan penuh kesakitan

Waktu bayi, ia menyusui kita dengan penuh kasih

Ia selalu di samping kita tatkala kita menangis

Ia menggendong kita dengan peluk mesra

Ia menyelimuti tubuh kita di hari-hari dingin

Ia mengajak kita ke tempat yang kita sukai

Ia mendahulukan kita mendapat sepotong kue

Ia tersenyum manis tatkala melihat kita pertama kali tersenyum padanya

Ia meloncat gembira melihat kita pertama kali berdiri diatas kaki kecilnya

Wajahnya sumringah merayakan ulang tahun kita yang pertama

Ia memeluk kita mesra tatkala pulang dari sekolah

Ia membelikan baju buat kita dan ia tak ingat membeli bajunya sendiri

Ia membawa kita ke dokter/poliklinik tatkala kita sakit

Ia membela diri kita tatkala kita berkelahi dengan teman-teman

Ia menabung dan membelikan sepeda kita yang pertama

Ia memasakkan makanan kesukaan kita pada hari-hari penting

Ia mencium kita dengan mesra pada hari kelulusan

Ia memandang kita dengan bahagia, ketika pertama kali kita mendapat kerja dan penghasilan sendiri

Matanya bersinar bangga melihat kita memperkenalkan kekasih hati

Ia bahagia setinggi langit pada waktu pernikahan anak-anaknya.

sumber : Jost Kokoh, Pr. XXX Family Way. Yogyakarta : Kanisius 2010

Sabtu, 02 Juni 2012

"Bejana Pilihan"

Seorang tuan sedang mencari sebuah bejana. Ada bebrapa bejana tersedia, manakah yang akan terpilih?

"Pilihlah aku!" Teriak bejana emas

"Aku mengkilap dan bercahaya. Aku sangat berharga dan aku melakukan segala sesuatu dengan benar. Keindahan aku aka mengalahkan yang lain. Dan untuk orang yang seperti engkau, tuanku, emas adalah yang terbaik!".

Tuan itu hanya lewat saja tanpa mengeluarkan sepatah kata. Kemudian ia melihat suatu bejana perak, ramping dan tinggi.

"Aku akan melayani engkau, tuanku, aku akan menuangkan anggurmu dan aku akan berada dimejamu di setiap acara jamuan makan. Garisku sangat indah, ukiranku sangat nyata. Dan perakku akan selalu memujiMu."

Tuan itu hanya lewat saja dan menemukan sebuah bejana tembaga. Bejana ini lebar mulutnya dan dalam, dipoles seperti kaca.

"Sini! Sini!" teriak bejana itu.

"Aku tahu aku akan terpilih. Tarulah aku di mejamu, maka semua orang akan memandangku."

"Lihatlah  aku, panggil bejana kristal yang sangat jernih. Aku sangat transparan, menunjukkan betapa baiknya aku. Meskipun aku mudah pecah, aku akan melayani engkau dengan kebanggaanku. Dan aku yakin, aku akan bahagia dan senang tinggal dalam rumahmu."

Tuan itu kemudian menemukan bejana kayu. Dipoles dan diukir indah, berdiri dengan teguh.

"Engkau dapat memakai aku, tuanku." kata bejana kayu.

"Tapi aku lebih senang bila Engkau memakaiku untuk buah-buahan, bukan untuk roti."

Kemudian tuan itu melihat ke bawah dan melihat bejana tanah liat. Kosong dan hancur, terbaring begitu saja. Tidak ada harapan untuk terpilih sebagai bejana Tuhan itu.

"Ah! Inilah bejana yang aku cari-cari. Aku akan perbaiki dan kupakai dan akan aku buat sebagai milikku seutuhnya. Aku tidak membutuhkan bejana yang mempunyai kebanggaan. Tidak juga bejana yang terlalu tinggi untuk ditaruh di rak. Tidak juga mempunyai mulut lebar dan dalam. Tidak juga memamerkan isinya dengan sombong. Tidak juga yang merasa dirinya selalu benar. Tetapi yang ku cari adalah bejana yang sederhana yang akan ku penuhi dengan kuasa dan kehendakKu."

sumber : Jost Kokoh, Pr. XXX Family Way. Yogyakarta : Kanisius 2010