Senin, 14 Mei 2012

"Arti Persahabatan"

Disebuah panti asuhan, seorang bocah perempuan mengalami kecelakaan sehingga membutuhkan transfusi darah. Pihak panti mencoba mencarikan darah dengan golongan yang sama dengan gadis kecil itu, tetapi gagal. Mereka lalu mengumumkan ke anak - anak panti lainnya siapa yang mau menyumbangkan darahnya. Seorang bocah laki - laki kecil maju ke depan.

Dokter segera mengambil darahnya. Setelah dicek ternyata cocok. Segera saja persiapan untuk dilakukan. Akhirnya transfusi selesai. Selama proses itu, dokter melihat wajah bocah laki - laki itu pucat pasi.

"Apakah saya akan mati?" tanyanya kepada dokter itu.

Dokter kini mengerti mangapa selama proses pengambilan sampel darah sampai transfusi berlangsung bocah itu pucat pasi. Dia mengira bahwa memberikan daranya berarti mencabut nyawanya. Luar biasa bukan? meskipun ia tahu walaupun salah bahwa ia akan mati, dia masih mau mendonorkan darahnya untuk sahabatnya.

"Jika engkau mengira engkau akan mati, mengapa engkau masih mau menyumbangkan darah mu?" tanya dokter itu.

Dengan wajah polos dan mata bersinar - sinar bocah itu berkata, "Dia kan sahabat saya. Saya mau menolongnya!".

Iman bocah yang polos itu menunjukkan betapa luar biasanya kasih anak itu terhadap temannya. Kita yang lebih dewasa seringkali mengadakan perhitungan yang rumit sebelum melakukan sesuatu yang baik. Banyak alasan yang bisa kita ajukan untuk tidak melakukan apa - apa kepada orang lain. Mengapa anak kecil seringkali lebih tulus dan setia kawan ketimbang kita yang sudah dewasa? Bisakah kita belajar dari bocah laki - laki itu?

sumber : Xavier Quentin Pranata. Kisah Inspirasional Plus. Yogyakarta : Moriel Publishing House 2010

Selasa, 08 Mei 2012

"No. 5"

Sebuah paras elok melintas dalam benak. Kertas karton yang membingkai fotonya penuh dengan kesan teman - teman tentang dirinya.

"Barangkali ia memiliki satu atau dua sifat negatif," ujajr saya dalam hati. Saya membacanya hingga tiga kali. "Nol". Saya mengorek ingatan tentangnya selama retret yang barangkali menyikap sesuatu yang masih tersembunyi dalam dirinya.

Ia selalu paling dulu berdoa di kapel dan keluar paling belakang. Tanpa diminta tangannya cekatan membantu saya membersihkan kapel.

"Ah, ia selalu mengenakan warna ungu."

Saya melihat daftar murid yang meminta waktu untuk berjumpa secara pribadi. "No. 1 Paramitha."

Sebuah ketukan lembut diikuti paras elok menyembul dari balik pintu.

"Orang tua kecewa karena saya hanya ranking 5 disekolah," ujarnya membuka pembicaraan.

"Dari berapa banyak siswa?"

"500."

"Prestasi yang sangat bagus bukan?"

"Mereka menginginkan nomor 1. Saya telah mengerahkan segenap kemampuan."

Saya terdiam lama sebelum akhirnya berbicara.

"Apakah yang terbaik buat Paramitha selalu harus no. 1?"

Belahan rambut menutupi paras Paramitha yang tertunduk. Isakan lembut terdengar.

"Seandainya orang tuaku sepertimu."

Ironisnya, biasanya orang tua yang seperti ini dulunya juga bukan no. 1. Kalau orang tua dulunya no. 1 biasanya mereka lebih tidak haus ambisi lewat anaknya dan lebih bijak untuk mengetahui yang terbaik bagi anaknya.

sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009

Minggu, 06 Mei 2012

"Waktu Keluarga"

"Papa, kita..."

Ucapan Andrea terputus dering telepon genggam suaminya.

Ricky bangkit dari tempat tidurnya dan memberi tanda kepada istrinya.

"Urusan bisnis."

Saat kembali ke kamar, Ricky mendengar nafar tidur Andrea yang teratur.

Ricky menyalakan lampu duduk.

Ia menatap paras istrinya.

"Aku semakin jarang punya waktu bersama."

Ricky membuat kalender acara di telpon genggamnya.

"Penuh," katanya lirih sambil menggeleng - gelengkan kepalanya.

Nada dering pesan masuk membangunkan Ricky. Ia menyandarkan kepalanya di dada suaminya.

"Papa belum tidur?"

"Kita sibuk dengan pekerjaan dan anak - anak kita. Kita kurang waktu untuk berdua."

Keduanya duduk bersisihan.


"Kita capek. Fisik dan emosi terkuras dengan pekerjaan. Tadi dua anak kita bertanya kapan waktu berkemah bersama seperti beberapa tahun lalu.'

"Anak - anak." Mata Ricky dan Andrea bergenang.

"Bagaimana kalau kita bertemu besok saat makan pagi?"

Andrea mengangguk. Keduanya melihat jarum jam. Hari mendekati pagi.

Sebagian pribadi membagi waktu kehidupannya menjadi waktu pribadi, waktu kerja dan waktu keluarga. Waktu yang seringkali terdesak dengan waktu - waktu lain adalah waktu keluarga.

sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009

Sabtu, 05 Mei 2012

"Ibu Suka Cita"

Setiap minggu Teresa Calcutta berkunjung ke kawasan kumuh.

"Saya kadang datang kepada mereka tanpa sumbangan ditangan. Kalaupun membawa sesuatu, kami hanya memiliki sedikit waktu untuk memberikan kepada mereka. Saya membawa kado suka cita."

Saat melihat kedatangannya, sejumlah anak berlarian menyongsongnya dengan sapaan

"Ibu"

Teresa memasuki sebuah rumah tinggal bersama. Sekitar dua belas keluarga tinggal dibawah satu atap. Setiap keluarga tinggal dalam ruang panjangnya dua meter dan satu setengah meter lebarnya.

"Pintu sempit sekali dan atapnya rendah sekali. Saya harus menciutkan badan untuk masuk. Banyak penghuni menderita tubercolusis (TBC)," ujar Teresa.

"Kita banyak mengira mereka mengeluhkan kondisi kemiskinan. Kesulitan hidup memojokkan hidup mereka, namun suka cita tetap bersemayam dalam hati mereka."

Saat pulang dari kunjungan, salah seorang ibu bertutur padanya,

"Ibu Teresa datanglah kemari. Senyumanmu membawa terang matahari kedalam rumah kami."

Teresa menulis renungan tentangnya,

"Suka cita lahir dari rahim hati yang dibakar cinta. Ia bersinar dalam mata, paras dan percakapanmu."

Membagi suka cita kepada sesama menghasilkan suka cita berlipat ganda bagi pemberinya.

sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009

Jumat, 04 Mei 2012

"Lahir Difabel"

Mobil jemputan datang. Bunyi klakson mempercepat langkah saya dari laboratorium. Saya kaget mengetahui penjemput saya.

"Jangan kuatir. Saya memiliki Surat Izin Mengemudi," ujar Jessica.

Malam ini Jessica mengajak saya menonton pertandingan bola basket sekolahnya.

"Profesor wajib lihat penampilan saya sebagai cheerleader. Saya baru saja menerima kartu hasil belajar dengan prestasi mengagumkan. Oiya, saya tadi sempat menyiapkan makanan kecil sebagai syukur atasnya."

"Terima kasih banyak, Jessica."

Ia membalas dengan senyum manis.

Saya mengenal Jessica 3 tahun lalu. Jessica datang kepada saya dengan permohonan,

"Apakah saya boleh menjadi asisten laboratprium?"

"Bagaiman Jessica dapat melakukan semua ini dengan sangat baik?"

"Kita pribadi dengan beragam kelemahan. Kelemahan yang paling menghambat kehidupan justru ciptaan kita sendiri."

"Juga untuk difabel?" tanya saya lanjut.

"Ya. Awalnya sulit dan banyak pribadi menyerah."

Mobil bergerak mendekati ruang parkir kosong dibelakang stadion universitas. Menanti pertandingan, saya menulis kisah tentang Jessica.

"Jessica lahir tanpa tangan. Ia memegang kemudi mobil dengan kaki kiri. Ia menggunakan kaki kanan untuk menginjak rem dan gas."

Bersyukur merupakan jalan satu - satunya untuk bahagia dalam hidup.

sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009

Kamis, 03 Mei 2012

"Kisah untuk Tuhan"

Dokter Ima mengayuh sepeda dengan separuh tenaga kakinya. Ia ingin menunda kehadiran di ruang praktek.

"Aku gagal."

Sebuah paras jelita terlukis lama di pelupuk matanya. Ima mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka air matanya.

"Maafkan saya, Leni."

Kayuhan sepeda terasa semakin berat. Ima menepikan jalan sepedanya, lalu menuntun sepedanya.

"Aku gagal menyelamatkan kehidupanmu."

Sebuah paras jelita berbaring lemah di  unit pelayanan intensif.

"Hari - hariku tinggal menjemput kematian," kata Leni lirih.

Ima memegang tangan Leni dengan mata berkaca - kaca.

"Saya telah mengerahkan kemampuan terbaik sebagai dokter."

"Dokter, aku menulis surat untumu," ujar Leni sambil mengulurkan amplop berwarna hijau.

Ima membelokkan arah sepedanya ke taman kota. Pagi masih lengang seperti hatinya.

Ima berhati - hati mengeluarkan surat dari Leni. Bayangan mata Leni yang pelan - pelan mengatup selamanya terlukis jelas.

"Aku akan berkisah kepada Tuhan. Kasihmu padaku sebesar kemotrapi untuk kesehatan badanku. Aku pergi ke surga membawa 1000 hati yang setiap hari kau bawa dalam hidupku."

Perhatian kita lebih sering terpusat kepada rasa sakit dan pedih daripada perhatian dan kasih dari sesama.

sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisius 2009

Selasa, 01 Mei 2012

"Tiga Putra"

Seorang ayah memiliki tiga orang putra. Karena merasa anak-anaknya sudah besar dan dia sudah cukup tua, sang ayah ini ingin pensiun. Dia menyerahkan ingin perusahaannya ke salah satu anaknya. Untuk memastikan siapakah yang cocok duduk di tampuk pimpinan, dia membuat semacam tes. Dia mengajak ketiga anaknya ke tiga gudang kosong yang sudah ia sediakan. Dia memberikan kepada masing-masing putranya uang sebesar Rp. 100.000. "Ditangan kalian ada uang yang sama nilainya dan gudang yang sama besar," ujar sang ayah. "Tugas kalian adalah membeli barang yang bisa memenuhi gudang ini. Waktunya hanya sehari. Nanti malam saya ingin melihat hasilnya."

Ketika malam tiba, sang ayah bersama ketiga anaknya berjalan beriringan menuju ketiga gudang kosong itu. Anak pertama segera membuka pintu gerbang. Ternyata lantai gudang itu dipenuhi dengan jerami, tetapi tidak bisa memenuhi seluruh gudang. Ketika anak kedua membuka gudangnya, sang ayah melihat gudang itu dipenuh balon yang sudah ditiup. Walaupun banyak ternyata tidak bisa memenuhi gudang itu. Saat anak ketiga membuka gudangnya, sang ayah maupun kedua kakak anak itu bingung karena gudangnya masih kosong. "Apa yang kau lakukan , Nak?" tanya ayahnya diiringi tertawa sinis kedua kakaknya. Dengan penuh percaya diri sang anak berkata, "Lihat Yah, aku telah memenuhi gudang ini dengan cahaya!" Rupanya dia membeli lilin dan menyalakan disemua sudut ruangan. Anak bungsu inilah yang dipilih sang ayah untuk menggantikannya.

Hidup kita ini seperti lilin. Tidak peduli apakah kita sebatang lilin yang besar atau kecil. Lilin justru berguna saat dinyalakan, meleleh dan menerangi sekelilingnya. Lilin memang berkorban untuk lingkungan. Maukah kita memakai hidup yang sangat pendek ini untuk menjadi terang bagi sekeliling kita?

sumber : Xavier Quentin Pranata. Kisah Inspirasional Plus. Yogyakarta : Moriel Publishing House 2010