Sabtu, 10 November 2012

"Penjara Kedua"


Laki-laki yang telah melewati paruh baya itu mengamati cucunya bermain di papan ayun.

"Kakek," teriak cucunya gembira.

Pikirannya sejenak kembali ke masa lalu.

"Saya mendadak sesak nafas setiap kali berada di ruangan sempit."

Ia pernah tinggal di ruang petak bui selama 3 bulan karena dakwaan korupsi.


"Ruang sempit penjara itu masih membekas sampai sekarang. Saya menghindari perjumpaan dengan kenalan di masa lalu."

Bel di ruang selnya berdering. Terdengar langkah sepatu lars sipir penjara,

"Istri dan anak-anak mengunjungi Saudara."

"Hidup sebagai terpidana sulit. Namun terpisah dari keluarga jauh lebih sulit. Saya senantiasa merindukan kunjungan mereka."

Ia mendongakkan kepala ke arah tempat ayunan. Cucunya berbagi keceriaan dengan teman-teman di taman kanak-kanak.

"Kesibukan kerja menyunat waktu keluarga. Saya mulai terlambat pulang dan kemudian memilih tinggal di rumah yang dibangun kantor. Orang-orang rumah mulai kesulitan bahkan untuyk berbicara di telepon."

Palu pengadilan menghantarnya ke penjara.

"Bahkan kalau pengadilan salah keputusan, saya telah lama hidup terpenjara pekerjaan."

Imbuhnya, "Pekerjaan seringkali menjadi penjara kedua."

Lonceng masuk kelas berdering. Langkah-langkah kecil mendekat.

"Mengapa kakek menangis?"

Dalam kenyataan hidup sering kali kita memilih memenjarakan diri kita dalam suatu hal atas kesadaran diri kita sendiri.

sumber : Mutiara Andalas, SJ. Just For You. Yogyakarta : Kanisisus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar